
MA-ALBARKAH.SCH.ID – Pulau Jawa tidak hanya menjadi pusat pemerintahan kolonial, tapi juga sebagai pulau kependudukan Islam terbesar di Indonesia.
Pulau Jawa juga merupakan tempat lahirnya para a’lim u’lama, tokoh pejuang dan masyarakat yang unggul akan ilmu.
Ada banyak pejuang yang berasal dari Tanah Jawa yang namanya harum dan memiliki peranan besar dalam perjuangan.
Mereka senantiasa hidup dalam ingatan seluruh anak bangsa, meski raganya kini telah tiada.
Jejak Perjuangan Pahlawan Islam di Jawa
Pada artikel kali ini, disajikan tiga tokoh utama dari Pulau Jawa, yaitu Pangeran Diponegoro, KH. Hasyim Asy’ari, dan KH. Ahmad Dahlan.
Mereka bukan sekadar pahlawan dalam pertempuran fisik, tetapi juga dalam perang melawan kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan umat terhadap rukun iman dan rukun Islam.
Ketiganya meninggalkan warisan besar yang masih dirasakan hingga hari ini.
Lahir dari rahim Keraton Yogyakarta, Pangeran Diponegoro tak memilih duduk nyaman di istana. Ia justru memilih hidup sederhana di Tegalrejo, mendalami agama dan menyatu dengan rakyat.
Dikutip dari detik.com, pada waktu ayahnya, Sri Sultan Hemengkubuwono III naik tahta menjadi raja di Kesultanan Mataram, anaknya, Abdul Wahid disematkan gelar ‘Pangeran’, sedangkan nama ‘Diponegoro’ diberikan karena ia berjasa sudah memimpin perang Jawa”.
Ketika Belanda mulai merampas hak rakyat dan merusak nilai-nilai adat dan agama, Diponegoro bangkit memimpin Perang Jawa (1825–1830) salah satu perang paling dahsyat sepanjang sejarah kolonial.
Baginya, perang bukan sekadar merebut tanah, tapi mempertahankan marwah agama dan kehormatan bangsa.
Meski akhirnya ditangkap dan diasingkan, semangatnya tidak pernah padam dalam ingatan rakyat Jawa.
“Bagi saya, mati syahid di medan jihad lebih mulia daripada hidup di bawah penjajahan,” ucap Pangeran Diponegoro.
Dari sebuah desa di Jombang, Jawa Timur lahir seorang ulama besar yang kelak menjadi penjaga aqidah umat dan pemantik semangat perjuangan.
KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926, untuk membentengi masyarakat dari kebodohan dan penjajahan spiritual.
Dikutip dari detik.com, setelah mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama perjuangan Hasyim Asy’ari mulai terlihat.
Ia mendirikan NU bertujuan untuk menjaga kemurnian Islam Ahlussunah wal jama’ah, mempererat kekeluargaan umat Islam, serta memberikan perlawanan terhadap penjajah.
Namun perannya tidak berhenti di pesantren. Saat Republik baru berdiri, dan penjajah kembali menyerang, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad, yang menyatakan bahwa membela tanah air dari agresi adalah kewajiban agama.
Seruannya menjadi kobaran api bagi ribuan santri dan rakyat Surabaya dalam Peristiwa 10 November 1945.
“Membela tanah air adalah bagian dari iman,” ungkap Hasyim Asy’ari.
Di tengah gelombang kolonialisme dan ketertinggalan umat, muncul KH. Ahmad Dahlan, seorang ulama progresif dari Yogyakarta.
Ia bukan hanya mengajar di masjid, tetapi juga mendobrak pola pikir usang yang menghambat kemajuan.
Dikutip dari detik.com, sejak beranjak dewasa Ahmad Dahlan membulatkan niat untuk berguru kepada beberapa ulama besar untuk mengetahui lebih dalam tentang ilmu agama. Di antaranya KH Muhammad Saleh (yang mengajari ia ilmu fiqih), KH Muhsin (yang mengajari ia ilmu nahwu), KH R Dahlan (yang mengajari ia ilmu falak), KH Mahfudz dan syekh khayyat sattokh (sebagai guru ilmu hadits).
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, sebuah gerakan Islam modern yang menggabungkan dakwah, pendidikan, dan pelayanan sosial.
Melalui sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan, beliau membuktikan bahwa jihad bisa dilakukan lewat pena, papan tulis, dan perbuatan nyata.
“Islam bukan hanya di masjid, tetapi hadir dalam semua aspek kehidupan,” ujar Ahmad Dahlan.
Kesimpulan
Ketiga tokoh ini adalah wajah berbeda dari satu semangat yang sama yaitu membela Islam dan bangsa Indonesia.
Mereka mengajarkan bahwa menjadi pahlawan tidak harus menunggu perang, tapi cukup dengan keyakinan, kerja nyata, dan ketulusan.
Dari medan perang, dari pesantren, dari ruang kelas, Islam tetap menjadi cahaya perlawanan dan harapan.***
Penulis: M. Sahrul Saepi

Beri Komentar